BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting di dalam berbagai badang kehidupan, baik bagi manusia maupun perusahaan. Kondisi yang sehat akan meningkatkan gairah kerja dan kemampuan kerja serta kemampuan lainnya. Sama sepeti hal nya manusia yang harus selalu menjaga kesehatannya, perbankan juga harus selalu dinilai kesehatannya agar tetap prima dalam melayani para nasabahnya. Bank yang tidak sehat, bukan hanya membahayakan dirinya sendiri, akan tetapi pihak lain.
Bank sebagai suatu lembaga yang melindungi dana nasabah juga berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya dari pihak-pihak yang dapat merugikan nasabah. Dan sebaliknya masyarakat yang mempercayakan dananya untuk dikelola oleh bank juga harus dilindungi terhadap tindakan yang semena-mena yang dilakukan oleh bank yang dapat merugikan nasabahnya. Hal ini sangat dibutuhkan karena sebagai lembaga keuangan, bank harus mendapat kepercayaan dari masyarakat, dan kepercayaan dari masyarakat tersebut akan lahir apabila semua data hubungan masyarakat dengan bank tersebut dapat tersimpan secara rapi atau dirahasiakan.
Hal demikian membawa konsekuensi kepada bank, yaitu bank memikul kewajiban untuk menjaga kerahasiaan tersebut, sebagai timbal balik dari kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada bank selaku lembaga keuangan atau sumber dana masyarakat. Sebagai suatu badan usaha yang dipercaya oleh masyarakat untuk menghimpun dana masyarakat, sudah sewajarnya bank memberikan jaminan perlindungan kepada nasabah yang berkenaan dengan “keadaan keuangan nasabah” yang lazim dinamakan dengan “Kerahasiaan Bank”. Kerahasiaan bank sangat penting karena bank memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Nasabah hanya mempercayakan uangnya kepada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila bank memberikan jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan tidak akan disalahgunakan.
Dengan adanya jaminan kerahasian bank atas semua data-data masyarakat dalam hubungannya dengan bank, maka masyarakat mempercayai bank tersebut, kemudian selanjutnya mereka akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank. Kepercayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak disalahgunakan, dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank.
1.2 Aturan Kesehatan Perbankan
Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. UU tersebut lebih lanjut menetapkan bahwa :
1. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank serta wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
2. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
3. Bank wajib menyampaikan kepada BI segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh BI.
4. Bank atas permintaan BI, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku dan berkas yang ada serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.
5. Bank Indonesia melakukan pemeriksaaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan, BI dapat menugaskan akuntan publik atas nama bank Indonesia untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap bank.
6. Bank wajib menyampaikan kkca, perhitungan laba rugi tahunan dan penjelasannya, serta laporan berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh BI. Neraca dan perhitungan laba rugi dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan BI.
BAB 2
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Kesehatan Bank
Kesehatan Bank adalah Kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dan sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku.
Kegiatan tersebut antara lain:
1. Kemampuan menghimpun dana
2. Kemampuan mengelola dana
3. Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat
4. Kemampuan memenuhi kewajiban kepada pihak lain
5. Pemenuhan peraturan yang berlaku.
1.2 Penilaian Kesehatan Bank
Penilaian kesehatan bank amat penting disebabkan karena bank mengelola dana masyarakat yang di percayakan kepada bank. Masyarakat pemilik dana dapat saja menarik dana yang dimilikinya setiap saat dan bank harus anggup mengembalikan dana yang dipakainya jika ingin tetap dipercaya oleh nasabahnya.
Tujuan penilaian kesehatan bank yaitu untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat atau tidak sehat. Standar untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah ditentukan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia.
Saran yang diberikan Bank Indonesia sebagai pengawas dan Pembina untuk perbaikan – perbaikan bagi bank yang kurang sehat meliputi :perubahan manajemen, melakukan penggabungan seperti merger, konsolidasi, akuisisi atau malah dilikuidir (dibubarkan) keberadaannya jika memang sudah parah kondisi bank tersebut.
1.3 Aspek-aspek Penilaian
Penilaian untuk menentukan kondisi suatu bank, biasanya menggunakan berbagai alat ukur. Salah satu alat ukur yang utama yang digunakan untuk menentukan kondisi suatu bank dikenal dengan nama analisis CAMEL. Analisis ini terdiri dari aspek capital, assets,management, earning dan liquidity. Hasil dari masing-masing aspek ini kemudian akan menghasilkan kondisi suatu bank.
1. Aspek Pemodalan (Capital)
Penilaian pertama adalah aspek permodalan (capital) suatu bank.Dalam aspek ini yang di nilai adalah permodalan yang dimiliki oleh bank yang didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum bank. Penilaian tersebut didasarkan kepada CAR (Capital Adequacy Ratio),yang telah ditetapkan BI. Perbandingan Rasio CAR adalah Rasio Modal terhadap aktiva tertimbang menurut resiko (AMTR).Sesuai ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah,maka CAR perbankan untuk tahun 2002 minimal 8%.Bagi bank yang memiliki CAR dibawah 8% harus memperoleh perhatian dan penanganan yang serius untuk segera diperbaikin. Penambahan CAR untuk mencapai seperti yang ditetapkan memerlukan waktu,sehingga pemerintahpun memberikan waktu sesuai dengan ketentuan. Apabila sampai waktu yang telah ditentukan,target CAR tidak tercapai,maka bank yang bersangkutan akan dikenakan sangsi.
2. Aspek Kualitas Aset (Asset)
Aspek yang kedua adalah mengukur kualitas asset bank. Dalam hal ini upaya yang dilakukan adalah untuk menilai jenis-jenis asset yang dimiliki oleh bank. Penilaian aset harus sesuai dengan peraturan oleh Bank Indonesia dengan memperbandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif. Kemudian rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva produktif diklasifikasikan. Rasio ini dapat dilihat dari neraca yang telah dilaporkan secara berkala kepada bank Indonesia.
3. Aspek Kualitas Manajemen (Management)
Dalam aspek ini yang di nilai adalah manajemen permodalan,kualitas aktiva,umum,rentabilitas, dan manajemen likuiditas. Penilaian didasarkan kepada jawaban dari 250 pertanyaan yang diajukan mengenai manajemen bank yang bersangkutan.
4. Aspek Earning
Kegunaan aspek ini juga untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan provitabilitas yang dicapai bank yang bersangkutan.
5. Aspek Likuiditas (Liquidity)
Penilaian dalam aspek ini meliputi :
1. Rasio kewajiban bersih Call Money terhadap aktiva Lancar.
2. Rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh bank seperti KLBI, giro, tabungan,
deposito dan lain-lain.
Disamping dengan penilaian analisis CAMEL, Kesehatan Bank juga dipengaruhi hasil hasil penilaian lainnya yaitu penil;aian terhadap :
1. Ketentuan pelaksanaan pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK) dan pelaksanaan Kredit Ekspor.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) atau Legal Lending Limit.
3. Pelanggaran Posisi Devisa Netto.
Batas Minimal dan maksimal untuk mentukan predikat suatu bank dapat dilihat dalam table berikut ini .
Nilai Kredit Predikat
81 – 100 Sehat
66 – < 81 Cukup Sehat
51 – < 66 Kurang sehat
0 – < 51 Tidak Sehat
6. Sensitivity Of Risk
Analisa terhadap risiko-risko yang mungkin terjadi. Dasar Hukum ketentuan rahasia bank di Indonesia, mula-mula adalah Undang-undang no.7 tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi kemudian diubah dengan Undang-undang no.10/1998. Sesuai pasal 1 ayat 28 Undang-undang no.10/1998, berbunyi sebagai berikut:
Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya.
1.4 Lingkup Rahasia Bank
Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul adalah: Apakah yang harus dirahasiakan ini hanya terbatas kepada keuangan nasabah penyimpan dana saja? Apakah juga menyangkut keadaan keuangan nasabah debitur? Apakah lingkup rahasia Bank hanya menyangkut pasiva (liabilities) bank berupa dana nasabah bank, ataukah juga meliputi aktiva (assets) bank berupa kredit Bank kepada nasabah. Apakah juga menyangkut penggunaan jasa-jasa bank yang lain, selain jasa penyimpanan dana dan jasa pemberian kredit?
Dari rumusan pasal 40 Undang-undang No.10/1998, secara eksplisit disebutkan bahwa lingkup rahasia bank adalah bukan saja menyangkut simpanan nasabah, tetapi juga (identitas) nasabah penyimpan yang memiliki simpanan tersebut. Bahkan dalam rumusan pasal 40, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dahulu daripada “Simpanannya”.
Di beberapa negara, lingkup dari rahasia bank tidak ditentukan hanya terbatas kepada keadaan keuangan nasabah, tetapi meliputi juga identitas nasabah yang bersangkutan.
1.5 Informasi mengenai mantan nasabah
Di dalam praktek perbankan atau praktek bisnis, sangat lazim seorang nasabah berpindah-pindah atau berganti-ganti bank, seperti juga adalah lazim seorang nasabah mempunyai simpanan pada beberapa bank. Timbul pertanyaan, apakah bank masih terikat terhadap kewajiban rahasia bank setelah nasabahnya tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan? Hal ini ternyata tidak diatur atau ditentukan oleh undang-undang, baik oleh undang-undang no.7/1992 maupun undang-undang no.10/1998.
Mengingat tujuan dari diadakannya ketentuan mengenai kewajiban rahasia bank, sebaiknya undang-undang perbankan Indonesia menentukan kewajiban rahasia bank tetap diberlakukan sekalipun nasabah yang bersangkutan telah tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan.
1.6 Siapa yang berkewajiban memegang teguh rahasia Bank?
Menurut pasal 47 ayat (2) Undang-undang no.10/1998, yang berkewajiban memegang teguh rahasia bank adalah:
· Anggota Dewan Komisaris Bank
· Anggota Direksi Bank
· Pegawai Bank
· Pihak terafiliasi lainnya dari Bank
1.7 Siapakah yang dikategorikan sebagai “pegawai bank”
Menurut penjelasan pasal 47 ayat (2) yang dimaksudkan “pegawai bank” adalah “semua pejabat dan karyawan bank”. Lingkup sasaran tindak pidana rahasia bank menurut pasal tsb terlalu luas, karena berarti rahasia bank berlaku bagi siapa saja yang menjadi pegawai bank, sekalipun pegawai bank tersebut tidak mempunyai akses atau tak mempunyai hubungan sama sekali dengan nasabah penyimpan dan simpanannya, seperti: pramubakti, satpam, pengemudi, pegawai di unit yang mengurusi kendaraan dan masih banyak lagi.
1.8 Kewajiban merahasiakan bagi mantan pegawai bank
Seorang pegawai bank, ada kemungkinan tak selamanya menjadi pegawai bank tersebut, bisa karena telah tiba masa pensiun, keluar dan menjadi pegawai di perusahaan lain, meninggal dan sebagainya. Pada krisis moneter, banyak pegawai bank yang terkena PHK karena bank nya terkena likuidasi.
Pertanyaan yang muncul, apakah mantan pegawai bank masih tetap terkena oleh kewajiban memegang teguh rahasia bank yang menjadi kewajibannya sewaktu yang bersangkutan masih menjadi pegawai aktif di bank yang bersangkutan? Ternyata Undang-undang no.7/1992 maupun Undang-undang no.10/1998 tak mengaturnya.
Beberapa negara menentukan bahwa mantan pengurus dan pegawai bank terikat oleh kewajiban rahasia bank. Ada yang menentukan keterikatannya itu berakhir setelah beberapa tahun sejak saat yang bersangkutan berhenti sebagai pengurus atau pegawai bank, ada pula yang menentukan kewajiban tersebut melekat terus sampai seumur hidup.
1.9 Pengertian pihak terafiliasi lainnya
Sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat (22) Undang-undang no.10/1998, yang dimaksud pihak terafiliasi adalah:
1. anggota dewan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank
2. anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain: akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya
4. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia, turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.
1.10 Pengecualian atas kewajiban rahasia bank
Undang-undang no.10/1998 memberikan pengecualian dalam 7 (tujuh) hal. Pengecualian tersebut tidak bersifat limitatif, artinya di luar 7 (tujuh) hal yang telah dikecualikan itu tidak terdapat pengecualian yang lain. Pengecualian itu adalah:
1. Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada pejabat pajak berdasarkan perintah Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan (pasal 41).
2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, dapat diberikan pengecualian kepada Pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/PUPN atas izin Pimpinan Bank Indonesia (pasal 41A).
3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan pengecualian kepada polisi, jaksa atau hakim atas izin Pimpinan Bank Indonesia (pasal 42).
4. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (pasal 43).
5. Dalam rangka tukar menukar informasi di antara bank kepada bank lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia (pasal 44).
6. Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari nasabah penyimpan secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (pasal 44A ayat 1).
7. Atas permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dana yang telah meninggal dunia (pasal 44A ayat 2).
1.11 Alasan Penggabungan
Terdapat beberapa alas an suatu bank atau suatu perusahaan untuk melakukan penggabungan baik penggabungan secara merger, konsolidasi maupun akuisisi. Alas an yang biasa dipakai yaitu antara lain :
1. Masalah kesehatan
Apabila bank sudah dinyatakan tidak sehat oleh Bank Indonesia setelah melalui beberapa perbaikan sebelumnya, maka sebaiknya bank tersebut melakukan penggabungan. Pilihan penggabungan tentunya dengan bank yang sehat.
2. Masalah permodalan
Apabila modal suatu bank dirasakan kecil sehingga sulit untuk melakukan perluasan usaha, maka bank dapat bergabung dengan satu atau beberapa bank sehingga modal dimiliki menjadi besar.
3. Masalah manajemen
Manajemen bank yang sembrawut atau kurang professional sehingga perusahaan terus merugi dan sulit berkenbang. Jenis bank inipun sebaiknya melakukan penggabungan usaha dengan bank yang professional yang terkenal dengan kualitas manajemennya.
4. Teknologi dan Administrasi
Bank yang menggunakan teknologi yang masih tradisional sangat jadi masalah. Dalam perkembangan yang sedemikian cepat diperlukan teknologi yang canggih. Untuk memperoleh teknologi yang canggih diperlukan modal yang tidak sedikit. Jalan keluar yang dipilih adalah melakukan penggabungan dengan bank yang sudah memiliki teknologi yang canggih. Demikian pula bagi bank yang kurang teratur dan masih tradisional dalam hal administrasinya, sebaiknya bank melakukan penggabungan atau peleburan sehingga diharapkan administrasinya menjadi lebih baik.
5. Ingin menguasai pasar.
Tujuan ingin menguasai pasar tidak diumumkan secara jelas kepada pihak luar dan biasanya hanya diketahui oleh mereka yang ikut bergabung . Dengan adanya penggabungan dari beberapa bank, maka jumlah cabang dan jumlah nasabah yang dimiliki bertambah. Tujuan ini juga dilakukan untuk menghilangkan atau melawan pesaing yang ada.
Keinginan untuk mengadakan penggabungan bank ,baik penggabunggan secara merger, konsolidasi atau akuisisi dapat dilakukan atas :
1. Inisiatif bank yang bersangkutan atau
2. Permintaan Bank Indonesia atau
3. Inisiatif badan khusus, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Dalam melakukan penggabungn, maka pihak perbankan hendaknya memenuhi beberapa peraturn atau persyaratanyang telah ditetapkan . Izin untuk melakukan merger , Konsolidasi atau akuisisi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Telah memperoleh persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bagi bank yang berbentuk badan hokum perseroan Terbatas atau rapat sejenis bagi bank yang berbentuk lainnya.
2. Memenuhi rasio kecukupan modal yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Calon Anggota Direksi dan Dewan Komisaris tidak termaksud daftar orang yang tercela dibidang perbankan .
4. Dalam hal akuisisi, maka bank wajib memenuhi ketentuan mengenai pengartian modal oleh bank yang diatur oleh Bank Indonesia
1.12 Jenis – jenis Penggabungan
Jenis – jenis penggabungan yang dapat dipilih & yang biasadilakukan diIndonesia adalah
1. Merger
Penggabungan dua bank atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu dari bank yang ikut merger dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu.
2. Konsolidasi
Yaitu penggabungan dari dua bank atau lebih denagn cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank yang ikut konsolidasi tersebut tanpa melikuidasi terlebih dahulu.
3. Akuisisi
Yaitu pengambil alihan kepemilikan suatu bank yang berakibat beralihnya pengendalian terhadap bank. Usaha penggabungan model diatas sering disebut penggabungan horizontal. Penggabungan model vertikal yaitu menggabungkan beberapa usaha mulai dari usaha yang bergerak dalam industry hilir keusaha yang bergerak dalam usaha industri hulu.
1.13 Pembinaan Dan Pengawasan Bank
Lembaga Yang berhak melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dunia perbankan di Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam pembinaan dan pengawsan, BI menetapkan criteria kesehatan bank yang melipti aspek
1. Kecukupan Modal
2. Kualitas Aset
3. Kualitas Manajemen
4. Likuiditas
5. Rentabilitas
6. Aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip ke hati-hatian.
7. Rahasia Bank
Agar keamanan uang nasabahnya terjamin, pihak perbankan dilarang untuk memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah. Dan apabila melanggar kerahasiaan ini perbankan akan dikenakan sanksi.
Dalam pasal 1 angka 16 UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan dinyatakan bahwa : “Rahasia Bank adalah sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal ini dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.” Jadi, rahasia nasabah yang disimpan oleh pihak bank meliputi data dan informasi yang berhubungan dengan keuangan atau hal-hal lain dari nasabah baik mengenai simpanannya atau kredit (pinjaman) nasabah.
Namun kerahasiaan ini dikecualikan dalam hal :
1. Kepentingan Perpajakan
2. Peradilan Pidana
3. Perkara Perdata
4. Tukar menukar Informasi antar bank
5. Penyelesaian piutang Negara
6. Permintaan tertulis nasabah penyimpan
Dilihat dari segi hakekat rahasia bank Taufik El Rahim menulis bahwa adanya kewajiban bank untuk menyimpan rahasia dari nasabah di dasarkan kepada 4 hal :
1. Hak setiap orang atau badan untuk tidak mencampuri dalam masalah yang bersifat pribadi (personal privacy)
2. Hak yang timbul dari hubungan perikatan antara bank dan nasabahnya wajib dangan itikat baik wajib untuk melindungi kepentingan nasabahnya.
3. Bank dalam menghimpun dana dari masyarakat bekerja berdasarkan kepercayaan masyarakat.
4. Kebiasaan dan kelaziman dalam dunia perbankan.
5. Sanksi Atas Pelanggaran Aturan Kerahasiaan Bank
Pelanggaran terhadap berbagai aturan yang berlaku, termasuk kerahasiaan bank, maka akan dikenakan sanksi tertentu sesuai dengan yang tercantum dalam Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998.
1.14 Tolak Ukur Kesehatan Bank Dilihat Dari NPL
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau tabungan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Untuk itu kinerja suatu bank merupakan salah satu faktor penting yang menunjukkan efektivitas dan efisiensi suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan. Penurunan kinerja secara berkelanjutan dapat menyebabkan Financial Distress yaitu keadaan yang sangat sulit bahkan dapat dikatakan mendekati kebangkrutan. Financial Distress pada bank dilihat dari nilai NPL (Non Performing Loan). Apabila NPL suatu bank lebih besar dari 5% dapat dikatakan bank tersebut tidak bisa menyalurkan dan mengelola kredit dengan baik, sehingga banyak kredit yang bermasalah. Olehkarena itu, NPL dapat digunakan sebagai indikator tolak ukur kesehatan bank. Kredit bermasalah akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup bank itu sendiri dan perekonomian negara. Hal ini dikarenakan meningkatnya nilai NPL dari standar ketetapan BI yaitu 5%, sehingga bank tersebut menjadi tidak sehat. Berikut ini analisa dampak kredit bermasalah terhadap bank :
1. Likuiditas
Jika kredit yang jatuh tempo atau mulai diwajibkan membayar angsuran namun tidak mampu mengangsur karena kredit tidak lancar atau bermasalah, maka bank terancam menjadi tidak likuid.
2. Solvabilitas
Adanya kredit bermasalah dapat menimbulkan kerugian bagi bank sehingga bank menjadi tidak likuid, kemudian bank mencairkan aktiva tetapnya guna memenuhi segala kewajibannya kepada pihak ketiga. Jika bank tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka solvabilitas bank tersebut menjadi berkurang.
3. Rentabilitas
Rentabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh penghasilan dari bunga kredit. Jika kredit bermasalah atau tidak lancar, maka penghasilan bank dari bunga kredit akan berkurang.
4. Biaya tambahan
Biaya tambahan adalah adanya biaya tertentu karena kredit bermasalah seperti legal cost, administrative cost, opportunity cost, carrying cost, management cost, dan intangible cost.
5. Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Jika kredit tidak lancar, maka profitabilitas bank menjadi kecil sehingga akan terjadi negatif spread.
6. Bonafiditas
Bonafiditas adalah kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada bank.
7. Tingkat kesehatan bank
Bank yang dilanda kredit bermasalah bisa menurunkan tingkat kesehatannya, dan bank dapat dikenakan sanksi bahkan bisa menghadapi likuidasi.
8. Modal bank
Besar kecilnya ekspansi usaha ditentukan dengan perkembangan kredit. Jika kredit tidak tumbuh dengan baik, maka modal bank juga tidak dapat berkembang dengan baik.
Menurut Lukman Dendawijaya (2003 : 86-89) dalam usaha mengatasi timbulnya kredit bermasalah, pihak bank dapat melakukan beberapa tindakan penyelamatan sebagai berikut :
1. Rescheduling
Rescheduling merupakan upaya pertama pihak bank untuk menyelamatkan kredit yang diberikan kepada debitur berupa penjadwalan kembali sebagian atau seluruh kewajiban debitur.
2. Reconditioning
Reconditioning merupakan usaha pihak bank untuk menyelamatkan kredit yang diberikan dengan cara mengubah sebagian atau seluruh persyaratan yang telah disepakati bersama pihak debitur dalam perjanjian kredit. Setiap bank harus memberikan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) sesuai dengan ketentuan umum BI.
3. Restructuring
Restructuring atau restrukturisasi adalah usaha penyelamatan kredit yang terpaksa dilakukan bank dengan mengubah komposisi pembiayaan yang mendasari pemberian kredit.
4. Kombinasi 3-R
Penyelamatan kredit bermasalah yang dilakukan bank dengan melakukan berbagai kombinasi dari tindakan rescheduling, reconditioning dan restructuring, seperti.
a. rescheduling dan reconditioning.
b. rescheduling dan restructuring.
c. restructuring dan reconditioning.
d. rescheduling, reconditioning dan restructuring.
5. Eksekusi
Jika semua usaha penyelamatan di atas sudah dicoba namun nasabah masih tidak mampu memenuhi kewajibannya terhadap bank, maka jalan terakhir adalah melakukan eksekusi dengan berbagai cara, antara lain:
a. Menyerahkan kewajiban kepada BUPN (Badan Urusan Piutang Negara).
b. Menyerahkan perkara ke pengadilan negeri (perkara perdata).
2.15 Peraturan Bank Indonesia Mengenai Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari'ah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah Gubernur Bank Indonesia menimbang:
a. Bahwa kesehatan suatu bank berdasarkan prinsip syari’ah merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank;
b. Bahwa dengan meningkatnya jenis produk dan jasa perbankan syari’ah berpengaruh pada peningkatan kompleksitas usaha dan profil risiko bank berdasarkan prinsip syari’ah;
c. Bahwa perubahan metodologi penilaian kondisi bank yang diterapkan secara internasional akan mempengaruhi sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan prinsip syari’ah yang berlaku;
d. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk mengatur kembali Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berdasarkan prinsip syari’ah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demikian juga dengan sistem perbankan yang tangguh dan sehat tentunya juga akan sanggup memobilisasi dana dari dan keseluruh lapisan masyarakat sehingga perekomian masyarakat tumbuh dan berkembang, yang pada gilirannya diharapkan dapat memakmurkan masyarakat. Jadi jelas sistem perbankan yang tangguh dan sehat adalah syarat terciptanya sistem ekonomi yang tumbuh dan berkembang.
Agar bank dapat tumbuh dan melaju dengan baik, pertama diperlukan modal yang cukup (Capital Adequacy Ratio) sebagai bamper untuk menanggung risiko kredit macet yang sewaktu-waktu harus di hapus bukukan, Kedua, kualitas aktiva produktip (Quality Assets produktive) harus tinggi, indikatornya kredit macetnya kecil. Mengapa harus berkualitas tinggi ? Karena fungsi aset produktif adalah sebagai mesin bank yang harus mampu menghasilkan imbal hasil (return) yang cukup. Ketiga, manajemen bank sebagai pengendali jalannya operational bank harus solid, penuh kehatian-hatian dan cukup berpengalaman. Keempat, Earnings, laba yang diperoleh bank harus memadai sebagai alat pemacu pertumbuhan modal dan asset. Kelima, Liquidity atau likuiditas harus terjaga baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, supaya kepercayaan (trust) masyarakat meningkat. Kelima pilar ini sering disebut dengan CAMEL yang sekarang telah berubah menjadi CAMELS, dimana S singkatan dari sensitivity (sensitivitas). Menurut Bank Indonesia yang dimaksud sensitivitas, adalah sensitivitas bank terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk) Di mana penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas terhadap risiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen ; pertama, modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga; Kedua, modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi nilai tukar dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi nilai tukar; dan ketiga, kecukupan penerapan system manajemen resiko pasar.
Cara untuk melihat sebuah bank sehat atau tidak adalah dengan cara mengamati tingkat bunga, struktur kepemilikan dan manajemen, seta pertumbuhan Aset-nya.
Pertama, tingkat bunga bank, makin tinggi bunga yang ditawarkan, terutama jika dibandingkan dengan bank yang beraset setara, makin tinggi pula risiko bank tersebut. Argumentasinya sederhana. Bank merupakan lembaga perantara (intermediary) yang dalam mengelola dananya harus berpegang pada prinsip kesesuaian jatuh tempo (maturity). Bank yang berhati-hati biasanya menyalurkan dana masyarakat berjangka pendek menjadi kredit jangka pendek pula. Sedangkan kredit jangka panjang didanai dari dana jangka panjang. Dalam prakteknya, ada bank-bank yang menggunakan dana jangka pendek untuk – katakanlah – membiayai proyek properti yang jelas-jelas berjangka panjang. Hal ini jelas-jelas melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking). Persoalan menjadi semakin kacau balau kalau pengembalian kredit jangka panjang, dipastikan, bank akan menghadapi persoalan likuiditas. Di satu sisi, bank harus membayar dana masyarakat yang jatuh tempo. Akan tetapi di sisi lain, sumber untuk membayar deposito itu tidak ada. Sebab, dananya sudah tertanam di kredit berjangka panjang.
Pertama, tingkat bunga bank, makin tinggi bunga yang ditawarkan, terutama jika dibandingkan dengan bank yang beraset setara, makin tinggi pula risiko bank tersebut. Argumentasinya sederhana. Bank merupakan lembaga perantara (intermediary) yang dalam mengelola dananya harus berpegang pada prinsip kesesuaian jatuh tempo (maturity). Bank yang berhati-hati biasanya menyalurkan dana masyarakat berjangka pendek menjadi kredit jangka pendek pula. Sedangkan kredit jangka panjang didanai dari dana jangka panjang. Dalam prakteknya, ada bank-bank yang menggunakan dana jangka pendek untuk – katakanlah – membiayai proyek properti yang jelas-jelas berjangka panjang. Hal ini jelas-jelas melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking). Persoalan menjadi semakin kacau balau kalau pengembalian kredit jangka panjang, dipastikan, bank akan menghadapi persoalan likuiditas. Di satu sisi, bank harus membayar dana masyarakat yang jatuh tempo. Akan tetapi di sisi lain, sumber untuk membayar deposito itu tidak ada. Sebab, dananya sudah tertanam di kredit berjangka panjang.
Untuk menyiasati persoalan seperti itu, bank biasanya akan lari ke pasar uang dan mencari pinjaman di sana. Namun, ongkosnya sangat mahal dan belum tentu dana yang dibutuhkan tersedia. Alhasil, bank terpaksa mencari dana-dana baru dari masyarakat. Agar menarik, bank kemudian mematok bunga yang sangat tinggi. Sering kali jauh lebih tinggi ketimbang suku bunga yang berlaku umum. Namun, hal itu sama saja dengan gali lubang tutup lubang. Ketika lubang itu sudah tidak dapat lagi ditutupi, seperti yang ditunjukkan pengalaman, puluhan bank terpaksa dilikuidasi. Oleh karena itu, sebaiknya hindari menempatkan dana pada bank-bank yang memasang bunga terlalu tinggi.
Kedua, struktur kepemilikan dan manajemen, banyak bank yang bermasalah adalah bank-bank yang manajemen dan pemiliknya memiliki pertalian yang terlalu erat. Katakanlah, bank dimiliki oleh si A. Kemudian, yang menjadi direktur atau jajaran manajemennya adalah kerabat si A. Jika seperti itu, sangat besar kemungkinannya terjadi persekongkolan di antara mereka. Atau, manajemen cuma jadi boneka.
Dapat disimpulkan bahwa, secara fundamental bank sehat jika mempunyai cukup modala (CAR minmal 8%), Kualitas asset yang tinggi, Manajemen yang Solid, laba yang memadai dan likuditas yang cukup dan jika ditinjau secara teknikal mempunya pertumbuhan harga yang stabil dan tinggi. Alternatif penilaian adalah melalui tinjauan terhadap suku bunga yang ditawarkan normal (tidak terlalu tinggi), komposisi kepemilikan tidak terkonsentrasi pada satu golongan orang serta pertumbuhan asetnya tidak spektakuler. Akhirnya bank yang sehat sangat diperlukan agar dapat mempercepat mobilisasi dana masyarakat untuk pertumbuhan ekonomi.